Sebenarnya menyontek adalah suatu hal yang mungkin sudah sangat sering atau setidaknya pasti pernah dilakukan oleh orang-orang yang sempat menginjak bangku sekolah dan mengikuti paling tidak satu ujian saja. Dan sudah sangat tidak awam lagi di telinga kita kata ‘nyontek’ atau bahkan pada era globalisasi ini sering juga diperindah dengan kata ‘cheating’ walau sebenarnya adalah bahasa asing dari kata menyontek itu sendiri. Mendengarnya mungkin orang bisa langsung berpikiran negatif mengenai kegiatan yang satu ini, tentu saja menyontek merupakan kegiatan kecil yang dilakukan saat tidak bisa melakukan apa-apa lagi terhadap suatu masalah yang berujung dengan melihat atau bisa jadi mencuri ide/pikiran orang lain, bisa dibilang menyontek adalah contoh sederhana dari kejahatan besar seperti menjimplak karya orang yang berarti mencuri. Well, mungkin tidak sekejam itu namun pada kenyataannya kegiatan yang sering dikaitkan dengan ujian atau pelajar ini memiliki arti yang sama dengan semacam penjimplakan. Biasanya dari para pelaku yang pernah menyontek saat ujian mengaku ia tidak bisa menjawab soal sehingga berakhir dengan melirik jawaban teman baik diketahui bahkan yang tidak diketahui sama sekali.
Nah, kenapa saya tiba-tiba tertarik dengan topik menyontek ini? Bukankah menyontek ini sudah kegiatan yang sangat wajar di kalangan pelajar? Terlebih lagi saya masih berstatus mahasiswa dan tidak dipungkiri pernah melakukan yang namanya ‘nyontek’. Kebiasaan masyarakat Indonesia sering kali menyebut bahwa nyontek sudah seperti budaya, dimana sudah mendarah daging dan tidak bisa dihilangkan, sehingga ketika seorang pelajar berhadapan dengan sebuah ujian pelajaran susah yang tidak ia sukai maka ia akan dengan gampang memilih menyontek sebagai jalan keluar pertama. Di sinilah letak pemikiran saya, apa benar nyontek itu merupakan budaya?
Pengalaman saya pribadi sebagai seorang siswa semasa SMA juga membuat mata saya dan pemikiran saya lebih terbuka, ingat saja pada masa-masa Ujian Nasional. Siswa-siswi hampir gila dibuatnya, gelisah akan tidak lulus dan menyebabkan bahkan ada sebagian dari teman saya menjadi takut jika mengingat UN dan apa jadinya? Ujung-ujungnya nyontek menjadi pilihan, beberapa pelajar cemerlang bahkan ditunjuk untuk menjadi semacam guru kunci untuk menyebar jawaban. Dengan demikian siswa yang berpemikiran ia tidak bisa lulus UN akan menjadi lebih tenang dan rileks dengan iming-iming tersebut, pertanyaan selanjutnya timbul. Apakah nyontek bisa disebut penyelamat yang jitu saat ujian? Hmm, ini sulit. Mengingat resiko ketahuan sangatlah besar, dan dalam kasus UN yang saya ceritakan itu maka mungkin bisa dilihat betapa percayanya siswa tadi dengan teman yang ia tunjuk sebagai penolong. Nah, mungkin saja ia bisa sedikit lega namun tanpa ia sadari ia sendiri menjadi malas untuk belajar karena sudah menganggap ada orang yang bisa men-cover nilainya.
Sejatinya menyontek adalah dilarang, sering sekali kalimat seperti: “Kerjakan masing-masing.”, “Jangan lirik kanan-kiri.”, “Kerjakan sesuai kemampuan saja.” Dan bahkan yang secara gamblang melarang dengan tegas untuk tidak menyontek saat akan melakukan suatu ujian atau tes. Dan mengapa menyontek mash dan terus saja dilakukan? Apakah iya menyontek sudah seperti budaya? Dalam kasus lain juga ada yang sengaja membuat catatan kecil untuk penolong saat ujian.
Menyontek jelas saja bukan budaya, menyontek hanyalah kebiasaan yang sebenarnya mudah untuk ditinggalkan jika saja dari diri kita masing-masing ditanamkan prinsip yang kuat untuk tidak berlaku curang. Nah, jika diri kita sudah tidak memiliki rasa percaya akan diri sendiri maka menyontek bisa menjadi suatu kebiasaan yang lumrah seolah-olah menjadi budaya.
Di sinilah kepercayaan diri kita diperlukan, terkadang pemikiran yang terlalu takut dalam ujian membuat gelisah tidak menentu sehingga menyontek menjadi ide pertama yang muncul. Tak jarang, saat ujian itu berlangsung seorang siswa yang sebenarnya sudah sangat paham dengan materi ujian namun tidak yakin dengan dirinya maka disanalah menyontek menjadi godaan yang teramat sangat susah untuk dilawan. Sehingga pada dasarnya diri pribadilah yang mengajarkan menyontek sebagai budaya, oleh karena itu perlu diadakan sedikit perubahan pola pikir dari pribadi masing-masing.
OKEH ANAK OKEH REZEKI
Diposting oleh
Unknown
/
Comments: (0)
OKEH ANAK OKEH REZEKI
Jargon banyak anak banyak rezeki kayaknya saat ini tidak populer. Masyarakat seolah mendapatkan pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan sehubungan dengan jumlah anak yang banyak Naiknya kebutuhan sehari-hari, kebutuhan sekolah anak, tawuran pelajar, genk motor, narkoba, sek bebas yang banyak dilakukan oleh generasi seusia anak,menyebabkan jargon di atas tidak laku dan mungkin telah berganti menjadi Banyak Anak Banyak Masalah.
Dan muncullah sekarang ini banyak keluarga dengan komposisi minimalis. Suami -istri dan satu anak atau paling banyak dua anak. Latar belakangnya macam-macam. Kesempitan rezeki adalah merupakan alasan utama penyebab munculnya keluarga minimalis. Bagi keluarga mampu ada lagi penyebabnya yaitu tidak mau direpotin urusan anak. Mereka yang rata-rata suami istri bekerja tidak ingin kariernya terganggu dengan kehadiran anak.
seperti kata Ibuk Mariati ( tetangga samping rumah) :Lek Ndue Anak ojo akeh-akeh, mengko ora iso nginggoni...ora iso mbiayai sekolah dll.
Itulah yang sering kita dengar. Dan itulah yang menjadi keyakinan kita. Belum juga anak kita lahir, hati dan pikiran kita sudah sepakat bahwa anak kita nanti bakalan sedikit rizkinya, bakalan tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pokoknya bakalan susah hidupnya. Jadi mendingan anak kita nggak usah lahir di dunia dengan membunuhnya dalam angan dan rencana kita.
Berbeda dengan Ibu Mariati, Pak Gufron(seorang ustad) beliau menjelaskan bahwa Allah dengan tegas telah menjamin rezeki setiap makhluk hidupnya. Kalau kita yakin dengan jaminan Allah tersebut, maka setiap anak kita pasti sudah dialokasikan rezekinya . Tidak mungkin Allah menghendaki anak kita lahir tapi lupa atau kehabisan rezeki untuk anak kita. Alangkah naifnya kita ini yang sering mengerdilkan ke-Maha Kuasa-an Allah atas rezeki makhluk-makhluknya.
Mungkin yang perlu kita benahi adalah pola pikir kita. Bukan takut anak kita tidak mendapatkan rezeki namun kita khawatir tidak bisa mengemban amanah berupa anak yang banyak. Jadi persoalannya adalah pada diri kita, bukan pada ke-Maha Kuasa-an Allah. Kelihatannya sederhana tapi ini penting dalam rangka menjaga keimanan dan pemahaman kita terhadap ke-Maha Kuasa-an Tuhan kita. Dalam teori yang kita pelajari, kita berTuhan kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Jangan sampai dalam implementasinya ke-Maha Segala- anNYA itu kita preteli satu per satu. Allah itu seperti persangkaan hambaNYA. Kalau kita menyangka Allah itu miskin dan tidak kuasa memberikan rezeki pada anak kita, inya Allah, kita akan benar-benar kesulitan memberikan makan kepada anak-anak kita. Wallahu’alam.
Jargon banyak anak banyak rezeki kayaknya saat ini tidak populer. Masyarakat seolah mendapatkan pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan sehubungan dengan jumlah anak yang banyak Naiknya kebutuhan sehari-hari, kebutuhan sekolah anak, tawuran pelajar, genk motor, narkoba, sek bebas yang banyak dilakukan oleh generasi seusia anak,menyebabkan jargon di atas tidak laku dan mungkin telah berganti menjadi Banyak Anak Banyak Masalah.
Dan muncullah sekarang ini banyak keluarga dengan komposisi minimalis. Suami -istri dan satu anak atau paling banyak dua anak. Latar belakangnya macam-macam. Kesempitan rezeki adalah merupakan alasan utama penyebab munculnya keluarga minimalis. Bagi keluarga mampu ada lagi penyebabnya yaitu tidak mau direpotin urusan anak. Mereka yang rata-rata suami istri bekerja tidak ingin kariernya terganggu dengan kehadiran anak.
seperti kata Ibuk Mariati ( tetangga samping rumah) :Lek Ndue Anak ojo akeh-akeh, mengko ora iso nginggoni...ora iso mbiayai sekolah dll.
Itulah yang sering kita dengar. Dan itulah yang menjadi keyakinan kita. Belum juga anak kita lahir, hati dan pikiran kita sudah sepakat bahwa anak kita nanti bakalan sedikit rizkinya, bakalan tidak bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Pokoknya bakalan susah hidupnya. Jadi mendingan anak kita nggak usah lahir di dunia dengan membunuhnya dalam angan dan rencana kita.
Berbeda dengan Ibu Mariati, Pak Gufron(seorang ustad) beliau menjelaskan bahwa Allah dengan tegas telah menjamin rezeki setiap makhluk hidupnya. Kalau kita yakin dengan jaminan Allah tersebut, maka setiap anak kita pasti sudah dialokasikan rezekinya . Tidak mungkin Allah menghendaki anak kita lahir tapi lupa atau kehabisan rezeki untuk anak kita. Alangkah naifnya kita ini yang sering mengerdilkan ke-Maha Kuasa-an Allah atas rezeki makhluk-makhluknya.
Mungkin yang perlu kita benahi adalah pola pikir kita. Bukan takut anak kita tidak mendapatkan rezeki namun kita khawatir tidak bisa mengemban amanah berupa anak yang banyak. Jadi persoalannya adalah pada diri kita, bukan pada ke-Maha Kuasa-an Allah. Kelihatannya sederhana tapi ini penting dalam rangka menjaga keimanan dan pemahaman kita terhadap ke-Maha Kuasa-an Tuhan kita. Dalam teori yang kita pelajari, kita berTuhan kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Jangan sampai dalam implementasinya ke-Maha Segala- anNYA itu kita preteli satu per satu. Allah itu seperti persangkaan hambaNYA. Kalau kita menyangka Allah itu miskin dan tidak kuasa memberikan rezeki pada anak kita, inya Allah, kita akan benar-benar kesulitan memberikan makan kepada anak-anak kita. Wallahu’alam.
COURAGE COME from FEAR ( keberanian keluar dari rasa takut )
Diposting oleh
Unknown
on Sabtu, 25 Januari 2014
/
Comments: (0)
FILM " THE CROODS"
The Croods berkisah tentang sebuah keluarga pra-sejarah yang hidup pada era sebelum ditemukannya api.
Keluarga yang terdiri dari; ayah (Grug), ibu (Ugga), tiga orang anak
(Thunk, Eap dan Sandy) tinggal bersama nenek yang merupakan orang tua
sang ibu (Gran). Eap adalah gadis yang menolak petuah sang ayah untuk
menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam gua yang diyakini sang
ayah menjamin keamanan seluruh keluarga dari serangan binatang buas, dan
bahaya lain yang mengancam. Eap merasa terkekang dengan peraturan yang
dibuat sang ayah. Kenyataan bahwa keluarga yang dipimpin Grug telah
menjadi satu-satunya keluarga yang bertahan hidup di wilayah tersebut
menyebabkan Grug tak mampu memahami keinginan Eap. Hingga pada suatu
hari, Eap bertekad untuk keluar dari gua tempat tinggalnya di malam hari
demi mengejar secercah cahaya yang menyusup ke guanya. Pertemuan Eap
dengan Guy, anak lelaki yang mengenalkannya pada api, membuatnya
mengerti bahwa tempatnya tinggal tak lama
lagi akan hancur. Mereka harus menemukan tempat tinggal yang baru.
Petualangan seru keluarga Eap dimulai saat Grug menemukan kenyataan
bahwa gua tempat tinggalnya selama ini runtuh dan memaksanya mencari
tempat tinggal yang baru.
Latar belakang pra-sejarah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi lebih ‘berwarna’. Hewan pra-sejarah yang selama ini lebih banyak digambarkan sebagai pengembangan bentuk reptil
yang didominasi warna coklat kelabu, di film ini dibentuk ulang dengan
kombinasi warna yang lebih menarik seperti burung pemakan daging yang
berwarna merah cerah, burung unta dan telurnya yang berwarna seperti pelangi,
kucing purba bergigi taring besar dan mencuat pun berwarna mirip
pelangi dan masih banyak lagi. Untuk saya dan anak-anak yang menghendaki
tontonan yang menghibur, campuran warna tersebut mengurangi kebosanan
karena toh cerita ini fantasi. Meski saya kemudian tidak benar-benar
yakin apakah kisah fantasi memiliki batasan tertentu sehubungan dengan
setting waktu dan tempat yang dipakai. Maksud saya, seberapa banyak
khayalan memiliki hak untuk dibaurkan begitu saja ke dalam cerita demi
tujuan menghibur.
Humor yang disajikan harus
diakui berhasil menjadi daya tarik tersendiri film ini. Ketangguhan
keluarga Grug mencari makan di awal cerita menjadi sajian pembuka yang
sangat menarik. Belum lagi bila berbicara tentang humor di dalam
dialog-dialognya. Grug yang selalu menghitung jumlah anggota keluarganya
untuk memastikan bahwa mereka aman selalu ditutup dengan rasa
penyesalan saat menyadari bahwa Gran (mertuanya yang cerewet) ternyata
masih hidup sebagaimana anggota keluarga yang lain.
Beberapa hal yang terasa kurang mengena yaitu kucing purba ganas yang
sejak awal cerita memburu keluarga Croods tiba-tiba menjadi jinak di
saat Grug terkurung di dalam gua dan tak punya jalan keluar dari kejaran
hewan tersebut. Kemudian tanah baru yang disebut di dalam cerita
sebagai ‘masa depan’ ternyata adalah sebuah tujuan yang secara lokasi
terkesan absurd karena tanah tersebut didapatkan begitu saja saat mereka
berlari menghindari retakan bumi ke arah matahari. Tidak ada
keterkaitan yang jelas antara keyakinan Guy akan sebuah masa depan baru
dengan tanah yang ditemukan di akhir cerita.
Kegigihan Eap menentang keyakinan sang ayah mengingatkan saya pada tokoh Merida dalam film Brave
produksi Pixar Animation Studio yang memperjuangkan keinginannya yang
berlawanan dengan sang ibu. Bedanya, Merinda dibantu oleh kekuatan magis
sedangkan Eap dibantu oleh seorang pria bernama Guy dan hewan
peliharaannya semacam musang yang bernama Belt.
Guy dan Belt mungkin dimaksudkan untuk memberikan analogi singkat
tentang peradaban masa kini yang mengajak Grug dan keluarganya untuk
keluar dari kebiasaan lamanya berlindung di balik guanya yang gelap dan
melepaskan diri dari ‘fear’ (rasa takut).